MAKALAH KESEHATAN REPRODUKSI (aborsi)



                                                                       BAB I
                                                                       PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Lebih dari separuh (104,6 juta orang) dari total penduduk Indonesia (208,2 juta orang) adalah perempuan. Namun, kualitas hidup perempuan jauh tertinggal dibandingkan laki-laki. Masih sedikit sekali perempuan yang mendapat akses dan peluang untuk berpartisipasi optimal dalam proses pembangunan. Tidak heran bila jumlah perempuan yang menikmati hasil pembangunan lebih terbatas dibandingkan laki-laki. Hal itu terlihat dari semakin turunnya nilai Gender-related Development Index (GDI) Indonesia dari 0,651 atau peringkat ke 88 (HDR 1998) menjadi 0,664 atau peringkat ke 90 (HDR 2000) (GOI & UNICEF, 2000). GDI mengukur angka harapan hidup, angka melek huruf, angka partisipasi murid sekolah, dan pendapatan kotor per kapita (Gross Domestic Product/GDP) riil per kapita antara laki-laki dan perempuan. Di bidang pendidikan, terdapat perbedaan akses dan peluang antara laki-laki dan perempuan terhadap kesempatan memperoleh pendidikan. Menurut Susenas 1999, jumlah perempuan yang berusia 10 tahun ke atas yang buta huruf (14,1%) lebih besar daripada laki-laki pada usia yang sama (6,3%) (GOI & UNICEF, 2000).
Angka Kematian Ibu (AKI) menurut survei demografi kesehatan Indonesia (SDKI) 1994 masih cukup tinggi, yaitu 390 per 100.000 kelahiran (GOI & UNICEF, 2000). Penyebab kematian ibu terbesar (58,1%) adalah perdarahan dan eklampsia. Kedua sebab itu sebenarnya dapat dicegah dengan pemeriksaan kehamilan (antenatal care/ANC) yang memadai. Walaupun proporsi perempuan usia 15-49 tahun yang melakukan ANC minimal 1 kali telah mencapai lebih dari 80%, tetapi menurut SDKI 1994, hanya 43,2% yang persalinannya ditolong oleh tenaga kesehatan. Persalinan oleh tenaga kesehatan menurut SDKI 1997, masih sangat rendah, di mana sebesar 54% persalinan masih ditolong oleh dukun bayi (GOI & UNICEF, 2000).
Namun tidak semua kehamilan diharapkan kehadirannya. Setiap tahunnya, dari 175 juta kehamilan yang terjadi di dunia terdapat sekitar 75 juta perempuan yang mengalami kehamilan tak diinginkan (Sadik 1997). Banyak hal yang menyebabkan
seorang perempuan tidak menginginkan kehamilannya, antara lain karena perkosaan, kehamilan yang terlanjur datang pada saat yang belum diharapkan, janin dalam kandungan menderita cacat berat, kehamilan di luar nikah, gagal KB, dan sebagainya. Ketika seorang perempuan mengalami kehamilan tak diinginkan (KTD), diantara jalan keluar yang ditempuh adalah melakukan upaya aborsi, baik yang dilakukan sendiri maupun dengan bantuan orang lain. Banyak diantaranya yang memutuskan untuk mengakhiri kehamilannya dengan mencari pertolongan yang tidak aman sehingga mereka mengalami komplikasi serius atau kematian karena ditangani oleh orang yang tidak kompeten atau dengan peralatan yang tidak memenuhi standar
Keputusan untuk melakukan aborsi bukan merupakan pilihan yang mudah. Banyak perempuan harus berperang melawan perasaan dan kepercayaannya mengenai nilai hidup seorang calon manusia yang dikandungnya, sebelum akhirnya mengambil keputusan. Belum lagi penilaian moral dari orang-orang sekitarnya bila sampai tindakannya ini diketahui. Hanya orang-orang yang mampu berempati yang bisa merasakan betapa perempuan berada dalam posisi yang sulit dan menderita ketika harus memutuskan untuk mengakhiri kehamilannya.
Aborsi sering kali ditafsirkan sebagai pembunuhan bayi, walaupun secara jelas Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan aborsi sebagai penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan atau kurang dari 22 minggu (WHO 2000). Dengan perkembangan tehnologi kedokteran yang sedemikian pesatnya, sesungguhnya perempuan tidak harus mengalami kesakitan apalagi kematian karena aborsi sudah dapat diselenggarakan secara sangat aman dengan menggunakan tehnologi yang sangat sederhana. Bahkan dikatakan bahwa aborsi oleh tenaga profesional di tempat yang memenuhi standar, tingkat keamanannya 10 kali lebih besar dibandingkan dengan bila melanjutkan kehamilan hingga persalinan.
Sayangnya, masih banyak perempuan di Indonesia tidak dapat menikmati kemajuan tehnologi kedokteran tersebut. Mereka yang tidak punya pilihan lain, terpaksa beralih ke tenaga yang tidak aman yang menyebabkan mereka beresiko terhadap kesakitan dan kematian. Terciptanya kondisi ini terutama disebabkan karena hukum di Indonesia masih belum berpihak kepada perempuan dengan melarang tindakan ini untuk dilakukan kecuali untuk menyelamatkan ibu dan bayinya. Akibatnya, banyak tenaga profesional yang tidak bersedia memberikan pelayanan ini; walaupun ada, seringkali diberikan dengan biaya yang sangat tinggi karena besarnya konsekuensi yang harus ditanggung bila diketahui oleh pihak yang berwajib. Perkiraan jumlah aborsi di Indonesia setiap tahunnya cukup beragam. Hull, Sarwono dan Widyantoro (1993) memperkirakan antara 750.000 hingga 1.000.000 atau 18 aborsi per 100 kehamilan. Saifuddin (1979 di dalam Pradono dkk 2001) memperkirakan sekitar 2,3 juta. Sedangkan sebuah studi terbaru yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia memperkirakan angka kejadian aborsi di Indonesia per tahunnya sebesar 2 juta (Utomo dkk 2001).
Menjadi remaja berarti menjalani proses berat yang membutuhkan banyak penyesuaian dan menimbulkan kecemasan. Lonjakan pertumbuhan badani dan pematangan organ-organ reproduksi adalah salah satu masalah besar yang mereka hadapi. Perasaan seksual yang menguat tak bisa tidak dialami oleh setiap remaja meskipun kadarnya berbeda satu dengan yang lain. Begitu juga kemampuan untuk mengendalikannya.
Di Indonesia saat ini 62 juta remaja sedang bertumbuh di Tanah Air. Artinya, satu dari lima orang Indonesia berada dalam rentang usia remaja. Mereka adalah calon generasi penerus bangsa dan akan menjadi orangtua bagi generasi berikutnya. Tentunya, dapat dibayangkan, betapa besar pengaruh segala tindakan yang mereka lakukan saat ini kelak di kemudian hari tatkala menjadi dewasa dan lebih jauh lagi bagi bangsa di masa depan.
Ketika mereka harus berjuang mengenali sisi-sisi diri yang mengalami perubahan fisik-psikis-sosial akibat pubertas, masyarakat justru berupaya keras menyembunyikan segala hal tentang seks, meninggalkan remaja dengan berjuta tanda tanya yang lalu lalang di kepala mereka.
Pandangan bahwa seks adalah tabu, yang telah sekian lama tertanam, membuat remaja enggan berdiskusi tentang kesehatan reproduksi dengan orang lain. Yang lebih memprihatinkan, mereka justru merasa paling tak nyaman bila harus membahas seksualitas dengan anggota keluarganya sendiri!
Tak tersedianya informasi yang akurat dan “benar” tentang kesehatan reproduksi memaksa remaja bergerilya mencari akses dan melakukan eksplorasi sendiri. Arus komunikasi dan informasi mengalir deras menawarkan petualangan yang menantang. Majalah, buku, dan film pornografi yang memaparkan kenikmatan hubungan seks tanpa mengajarkan tanggung jawab yang harus disandang dan risiko yang harus dihadapi, menjadi acuan utama mereka. Mereka juga melalap “pelajaran” seks dari internet, meski saat ini aktivitas situs pornografi baru sekitar 2-3%, dan sudah muncul situs-situs pelindung dari pornografi . Hasilnya, remaja yang beberapa generasi lalu masih malu-malu kini sudah mulai melakukan hubungan seks di usia dini, 13-15 tahun!
Hasil penelitian di beberapa daerah menunjukkan bahwa seks pra-nikah belum terlampau banyak dilakukan. Di Jatim, Jateng, Jabar dan Lampung: 0,4 – 5% Di Surabaya: 2,3% Di Jawa Barat: perkotaan 1,3% dan pedesaan 1,4%. Di Bali: perkotaan 4,4.% dan pedesaan 0%. Tetapi beberapa penelitian lain menemukan jumlah yang jauh lebih fantastis, 21-30% remaja Indonesia di kota besar seperti Bandung, Jakarta, Yogyakarta telah melakukan hubungan seks pra-nikah.
Berdasarkan hasil penelitian Annisa Foundation pada tahun 2006 yang melibatkan siswa SMP dan SMA di Cianjur terungkap 42,3 persen pelajar telah melakukan hubungan seks yang pertama saat duduk di bangku sekolah. Beberapa dari siswa mengungkapkan, dia melakukan hubungan seks tersebut berdasarkan suka dan tanpa paksaan.
Ketakutan akan hukuman dari masyarakat dan terlebih lagi tidak diperbolehkannya remaja putri belum menikah menerima layanan keluarga berencana memaksa mereka untuk melakukan aborsi, yang sebagian besar dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa mempedulikan standar medis. Data WHO menyebutkan bahwa 15-50 persen kematian ibu disebabkan karena pengguguran kandungan yang tidak aman. Bahkan Departemen Kesehatan RI mencatat bahwa setiap tahunnya terjadi 700 ribu kasus aborsi pada remaja atau 30 persen dari total 2 juta kasus di mana sebgaian besar dilakukan oleh dukun.
  1. Tujuan
-         Untuk mengetahui dan memahami tentang aborsi yang terjadi pada remaja
-         Untuk mengetahui gambaran kasus aborsi pada remaja

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Aborsi
Aborsi adalah tindakan penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan (sebelum usia 20 minggu kehamilan), bukan semata untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dalam keadaan darurat tapi juga bisa karena sang ibu tidak menghendaki kehamilan itu.
Di kalangan ahli kedokteran dikenal dua macam abortus (keguguran kandungan) yakni abortus spontan dan abortus buatan. Abortus spontan adalah merupakan mekanisme alamiah yang menyebabkan terhentinya proses kehamilan sebelum berumur 28 minggu. Penyebabnya dapat oleh karena penyakit yang diderita si ibu ataupun sebab-sebab lain yang pada umumnya gerhubungan dengan kelainan pada sistem reproduksi.
Lain halnya dengan abortus buatan, abortus dengan jenis ini merupakan suatu upaya yang disengaja untuk menghentikan proses kehamilan sebelum berumur 28 minggu, dimana janin (hasil konsepsi) yang dikeluarkan tidak bisa bertahan hidup di dunia luar.
Abortus buatan, jika ditinjau dari aspek hukum dapat digolongkan ke dalam dua golongan yakni :
1.      Abortus buatan Legal
Yaitu pengguguran kandungan yang dilakukan menurut syarat dan cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang. Populer juga disebut dengan abortus provocatus therapcutius, karena alasan yang sangat mendasar untuk melakukannya adalah untuk menyelamatkan nyawa/menyembuhkan si ibu.
2.      Abortus Buatan Ilegal
Yaitu pengguguran kandungan yang tujuannya selain dari pada untuk menyelamatkan/ menyembuhkan si ibu, dilakukan oleh tenaga yang tidak kompeten serta tidak memenuhi syarat dan cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang.
Abortus golongan ini sering juga disebut dengan abortus provocatus criminalis, karena di dalamnya mengandung unsur kriminal atau kejahatan.

B. Aspek Hukum ( KUHP dan UU Kesehatan )
Di negara Indonesia, dimana dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) tindakan pengguguran kandungan yang disengaja digolongkan ke dalam kejahatan terhadap nyawa (Bab XIX pasal 346 s/d 349). Namun dalam undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang kesehatan pada pasal 15 dinyatakan bahwa dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.
Dalam KUHP Bab XIX Pasal 346 s/d 349 dinyatakan sebagai berikut:
Pasal 346 : “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Pasal 347 :       (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 348 :       (1) Barang siapa dengan sengaja menggunakan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam         dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 349 : “Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun membantu melakukan salah satu kejahatan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat dditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan”.
Dari rumusan pasal-pasal tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1.      Seorang wanita hamil yang sengaja melakukan abortus atau ia menyuruh orang lain, diancam hukuman empat tahun penjara.
2.      Seseorang yang sengaja melakukan abortus terhadap ibu hamil, dengan tanpa persetujuan ibu hamil tersebut, diancam hukuman penjara 12 tahun, dan jika ibu hamil tersebut mati, diancam 15 tahun penjara.
3.      Jika dengan persetujuan ibu hamil, maka diancam hukuman 5,5 tahun penjara dan bila ibu hamilnya mati diancam hukuman 7 tahun penjara.
4.      Jika yang melakukan dan atau membantu melakukan abortus tersebut seorang dokter, bidan atau juru obat (tenaga kesehatan) ancaman hukumannya ditambah sepertiganya dan hak untuk berpraktek dapat dicabut.

Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
Pada penjelasan UU No.23 Tahun 1992 Pasal 15 dinyataka sebagai berikut:
Ayat (1) : “Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun, dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan dan norma kesopanan”.
Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu atau janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu.
Ayat (2)
Butir a : Indikasi medis adalah suatu kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil tindakan medis tertentu, sebbab tanpa tindakan medis tertentu itu, ibu hamil dan janinnya terancam bahaya maut.
Butir b : Tenaga kesehatan yang dapat melakukan tindakan medis tertentu adalah tenaga yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya, yaitu seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan.
Butir c : Hak utama untuk memberikan persetujuan ada pada ibu hamil yang bersangkutan, kecuali dalam keadaan tidak sadar atau tidak dapat memberikan persetujuannya, dapat diminta dari suami atau keluarganya.
Butir d : Sarana kesehatan tertentu adalah sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan peralatan yang memadai untuk tindakan tersebut dan telah ditunjuk oleh pemerintah.
Ayat (3) : Dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan dari pasal inidijabarkan antara lain mengenal keadaan darurat dalam menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya, tenaga kesehaan mempunyai keahlian dan kewenangan bentuk persetujuan, sarana kesehatan yang ditunjuk.

 

C. Unsafe Abortion & KEMATIAN MATERNAL
Di dunia setiap tahunnya diperkirakan 600.000 perempuan meninggal dunia karena sebab-sebab yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan. Sekitar 13% (78.000) dari kematian ibu karena tindakan aborsi yang tidak aman (The Alan Guttmacher Institute 1999). Aborsi tidak aman merupakan urutan ketiga penyebab kematian ibu di dunia (WHO 2000).
Tidak pernah tersedia data yang pasti mengenai jumlah aborsi di Indonesia disebabkan tidak adanya ketetapan hukum, sehingga tidak dapat dilakukan pencatatan data mengenai tindakan aborsi terutama yang diselenggarakan secara tidak aman. Akibatnya, aborsi tidak aman tidak pernah tercatat sebagai penyebab resmi kematian ibu, karena terselubung dalam perdarahan dan infeksi, dua kategori penyebab yang menyebabkan lebih dari separuh (55%) kematian ibu (Gunawan, 2000). Analisis lebih jauh data SKRT 1995 menyebutkan aborsi berkontribusi terhadap 11,1% dari kematian ibu di Indonesia, atau satu dari sembilan kematian ibu. Angka sebenarnya mungkin jauh lebih besar lagi, seperti dikemukakan oleh Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI yang secara informal memperkirakan kontribusi aborsi terhadap kematian ibu di Indonesia sebesar 50%.
Padahal pemerintah Indonesia termasuk salah satu dari sejumlah negara yang menyatakan komitmen terhadap Program Aksi Konferensi Kependudukan (ICPD) di Kairo tahun 1994 untuk menurunkan risiko kematian ibu karena proses reproduksi (kehamilan, persalinan dan pasca persalinan). Lima tahun setelah ICPD Kairo 1994, ternyata Indonesia tidak memperlihatkan hasil yang bermakna atau tidak bisa bergeming dari posisi sebagai negara dengan AKI tertinggi di Asia Tenggara. Perbandingan dengan negara-negara tetangga seAsia Tenggara menunjukkan bahwa AKI 373 per 100,000 kelahiran hidup 37 kali lebih tinggi dari pada Singapura (AKI 10), hampir 5 kali Malaysia (AKI 80), dan masih lebih tinggi dari Vietnam (AKI 160), Thailand (AKI 200), dan Filipina (AKI 280 per 100,000 kelahiran hidup). Apalagi kalau digunakan data perkiraan AKI yang dipakai UNICEF untuk Indonesia, yaitu 650 per 100,000 kelahiran hidup (Population Action International, The Reproductive Risk Index, 2001).
Tingginya AKI mengindikasikan masih rendahnya tingkat kesejahteraan penduduk dan secara tidak langsung mencerminkan kegagalan pemerintah dan masyarakat untuk mengurangi risiko kematian ibu. Peningkatan kualitas perempuan merupakan salah satu syarat pembangunan sumber daya manusia.
Strategi untuk menurunkan risiko kematian karena aborsi tidak aman adalah dengan menurunkan „demand’ perempuan terhadap aborsi tidak aman. Ini dapat dimungkinkan bila pemerintah mampu menyediakan fasilitas keluarga berencana yang berkualitas dilengkapi dengan konseling. Konseling keluarga berencana dimaksudkan untuk membimbing klien melalui komunikasi dan pemberian informasi yang obyektif untuk membuat keputusan tentang penggunaan salah satu metode kontrasepsi yang memadukan aspek kesehatan dan keinginan klien, tanpa menghakimi. Bagi remaja yang belum menikah, perlu dibekali dengan pendidikan seks sedini mungkin sejak mereka mulai bertanya mengenai seks. Namun, perlu disadari bahwa risiko terjadinya kehamilan selalu ada, sekalipun pasangan menggunakan kontrasepsi. Bila akses terhadap pelayanan aborsi yang aman tetap tidak tersedia, maka akan selalu ada „demand perempuan terhadap aborsi tidak aman.

 

D. UPAYA YANG DILAKUKAN (Upaya Mengurangi Abortus Buatan Ilegal di Kalangan Tenaga Kesehatan)
Para dokter dan tenaga medis lainnya, hendaklah selalu menjaga sumpah profesi dan kode etiknya dalam melakukan pekerjaan. Jika hal ini secara konsekwen dilakukan pengurangan kejadian abortus buatan ilegal akan secara signifikan dapat dikurangi.
Dalam deklarasi Oslo (1970) tentang pengguguran kandungan atas indikasi medik, disebutkan bahwa moral dasar yang dijiwai seorang dokter adalah butir Lafal Sumpah Dokter yang berbunyi:
”Saya akan menghormati hidup insani sejak saat pembuahan: oleh karena itu Abortus buatan dengan indikasi medik, hanya dapat dilakukan dengan syarat-syarat berikut”:

  1. Pengguguran hanya dilakukan sebagai suatu tindakan terapeutik.
  2. Suatu keputusan untuk menghentikan kehamilan, sedapat mungkin disetujui secara tertulis oleh dua orang dokter yang dipilih berkat kompetensi profesional mereka.
  3. Prosedur itu hendaklah dilakukan seorang dokter yang kompeten di instalasi yang diakui oleh suatu otoritas yang sah.
  4. Jika dokter itu merasa bahwa hati nuraninya tidak memberanikan ia melakukan pengguguran tersebut, maka ia hendak mengundurkan diri dan menyerahkan pelaksanaan tindakan medik itu kepada sejawatnya yang lain yang kompeten.
  5. Selain memahami dan menghayati sumpah profesi dan kode etik, para tenaga kesehatan perlu pula meningkatkan pemahaman agama yang dianutnya. Melalui pemahaman agama yang benar, diharapkan para tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya selalu mendasarkan tindakannya kepada tuntunan agama.
BAB III
PEMBAHASAN
  1. Kesimpulan
 Proses pembuktian atas kasus Abortus Buatan Ilegal sangat sulit dan rumit, mengingat para pihak dalam melakukan perbuatan tersebut selalu didahului pemukatan (jahat) untuk saling merahasiakan.
  1. Bagaimanapun juga tindakan abortus adalah merupakan tindakan yang tidak dapat ditolerir baik dari segi hukum maupun agama.
  2. Bagi tenaga kesehatan, khususnya Dokter, Bidan dan Juru Obat, ancaman pidana melakukan perbuatan Abortus Buatan Ilegal dapat ditambah sepertiga dari ancaman hukumannya.
 2. Saran – saran

1.      Diharapkan kepada orangtua agar lebih memperhatikan kondisi/ keadaaan anak khususnya perempuan, seperti membatasi pergaulan, dan memberikan informasi lebih awal tentang aborsi, serta ilmu agama yang lebih mendalam dengan harapan agar si anak tidak terjebak dalam kondisi yang kemungkinan dapat terjadi seperti itu.

2.      Untuk itu baik pemerintah, masyarakat, sekolah dan orangtua agar dapat memberikan masukan (suplemen) khusus kepada remaja wanita, agar pola pikir tentang arah-arah negatif dapat dihindari sejak dini

3.          Hendaknya para tenaga kesehatan agar selalu menjaga sumpah profesi dan kode etiknya dalam melakukan pekerjaan, sehingga pengurangan kejadian Abortus Buatan Ilegal dapat dikurangi.




DAFTAR PUSTAKA
  1. GOI & UNICEF. Laporan Nasional Tindak Lanjut Konferensi Tingkat Tinggi Anak (Draft). Desember 2000.
  2. Mochtar, Rustam, 1987, Sinopsis Obstetri, Edisi 2, Valentino Group, Medan
  3. WHO-SEARO. Regional Health Report 1998: Focus on Women. New Delhi: WHO-SEARO, 1998
  4. WHO. Safe Abortion: Technical and Policy Guidance for Health System. A Draft 4 September 2002.
  5. Zumrotin K. Susilo and Herna Lestari. Disampaikan pada acara Temu Ilmiah Fertilitas Endokrinologi Reproduksi, Hotel Savoy Homann Bidakara Bandung, 6 Oktober 2002. Artikel.
  6. Syafruddin. Abortus Provocatus dan Hukum. USU-Library. 2003.

Share this article :

Post a Comment

 
Support : BangHarr | Abdul Qohar | Mas Template
Copyright © 2011. KSR-PMI UNIT INSTITUT AGAMA ISLAM MA'ARIF (IAIM) NU METRO - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger