BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Lebih dari separuh (104,6 juta
orang) dari total penduduk Indonesia (208,2 juta orang) adalah perempuan.
Namun, kualitas hidup perempuan jauh tertinggal dibandingkan laki-laki. Masih
sedikit sekali perempuan yang mendapat akses dan peluang untuk berpartisipasi
optimal dalam proses pembangunan. Tidak heran bila jumlah perempuan yang
menikmati hasil pembangunan lebih terbatas dibandingkan laki-laki. Hal itu terlihat
dari semakin turunnya nilai Gender-related Development Index (GDI) Indonesia
dari 0,651 atau peringkat ke 88 (HDR 1998) menjadi 0,664 atau peringkat ke 90
(HDR 2000) (GOI & UNICEF, 2000). GDI mengukur angka harapan hidup, angka
melek huruf, angka partisipasi murid sekolah, dan pendapatan kotor per kapita
(Gross Domestic Product/GDP) riil per kapita antara laki-laki dan perempuan. Di
bidang pendidikan, terdapat perbedaan akses dan peluang antara laki-laki dan
perempuan terhadap kesempatan memperoleh pendidikan. Menurut Susenas 1999,
jumlah perempuan yang berusia 10 tahun ke atas yang buta huruf (14,1%) lebih
besar daripada laki-laki pada usia yang sama (6,3%) (GOI & UNICEF, 2000).
Angka Kematian Ibu (AKI) menurut
survei demografi kesehatan Indonesia (SDKI) 1994 masih cukup tinggi, yaitu 390
per 100.000 kelahiran (GOI & UNICEF, 2000). Penyebab kematian ibu terbesar
(58,1%) adalah perdarahan dan eklampsia. Kedua sebab itu sebenarnya dapat
dicegah dengan pemeriksaan kehamilan (antenatal care/ANC) yang memadai.
Walaupun proporsi perempuan usia 15-49 tahun yang melakukan ANC minimal 1 kali
telah mencapai lebih dari 80%, tetapi menurut SDKI 1994, hanya 43,2% yang
persalinannya ditolong oleh tenaga kesehatan. Persalinan oleh tenaga kesehatan
menurut SDKI 1997, masih sangat rendah, di mana sebesar 54% persalinan masih
ditolong oleh dukun bayi (GOI & UNICEF, 2000).
Namun tidak semua kehamilan
diharapkan kehadirannya. Setiap tahunnya, dari 175 juta kehamilan yang terjadi
di dunia terdapat sekitar 75 juta perempuan yang mengalami kehamilan tak
diinginkan (Sadik 1997). Banyak hal yang menyebabkan
seorang perempuan tidak menginginkan
kehamilannya, antara lain karena perkosaan, kehamilan yang terlanjur datang
pada saat yang belum diharapkan, janin dalam kandungan menderita cacat berat,
kehamilan di luar nikah, gagal KB, dan sebagainya. Ketika seorang perempuan
mengalami kehamilan tak diinginkan (KTD), diantara jalan keluar yang ditempuh
adalah melakukan upaya aborsi, baik yang dilakukan sendiri maupun dengan
bantuan orang lain. Banyak diantaranya yang memutuskan untuk mengakhiri
kehamilannya dengan mencari pertolongan yang tidak aman sehingga mereka
mengalami komplikasi serius atau kematian karena ditangani oleh orang yang
tidak kompeten atau dengan peralatan yang tidak memenuhi standar
Keputusan untuk melakukan aborsi
bukan merupakan pilihan yang mudah. Banyak perempuan harus berperang melawan
perasaan dan kepercayaannya mengenai nilai hidup seorang calon manusia yang
dikandungnya, sebelum akhirnya mengambil keputusan. Belum lagi penilaian moral
dari orang-orang sekitarnya bila sampai tindakannya ini diketahui. Hanya
orang-orang yang mampu berempati yang bisa merasakan betapa perempuan berada
dalam posisi yang sulit dan menderita ketika harus memutuskan untuk mengakhiri kehamilannya.
Aborsi sering kali ditafsirkan
sebagai pembunuhan bayi, walaupun secara jelas Badan Kesehatan Dunia (WHO)
mendefinisikan aborsi sebagai penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup
di luar kandungan atau kurang dari 22 minggu (WHO 2000). Dengan perkembangan
tehnologi kedokteran yang sedemikian pesatnya, sesungguhnya perempuan tidak
harus mengalami kesakitan apalagi kematian karena aborsi sudah dapat
diselenggarakan secara sangat aman dengan menggunakan tehnologi yang sangat
sederhana. Bahkan dikatakan bahwa aborsi oleh tenaga profesional di tempat yang
memenuhi standar, tingkat keamanannya 10 kali lebih besar dibandingkan dengan
bila melanjutkan kehamilan hingga persalinan.
Sayangnya, masih banyak perempuan di
Indonesia tidak dapat menikmati kemajuan tehnologi kedokteran tersebut. Mereka
yang tidak punya pilihan lain, terpaksa beralih ke tenaga yang tidak aman yang
menyebabkan mereka beresiko terhadap kesakitan dan kematian. Terciptanya
kondisi ini terutama disebabkan karena hukum di Indonesia masih belum berpihak
kepada perempuan dengan melarang tindakan ini untuk dilakukan kecuali untuk
menyelamatkan ibu dan bayinya. Akibatnya, banyak tenaga profesional yang tidak
bersedia memberikan pelayanan ini; walaupun ada, seringkali diberikan dengan biaya
yang sangat tinggi karena besarnya konsekuensi yang harus ditanggung bila
diketahui oleh pihak yang berwajib. Perkiraan jumlah aborsi di Indonesia setiap
tahunnya cukup beragam. Hull, Sarwono dan Widyantoro (1993) memperkirakan
antara 750.000 hingga 1.000.000 atau 18 aborsi per 100 kehamilan. Saifuddin
(1979 di dalam Pradono dkk 2001) memperkirakan sekitar 2,3 juta. Sedangkan
sebuah studi terbaru yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kesehatan
Universitas Indonesia memperkirakan angka kejadian aborsi di Indonesia per
tahunnya sebesar 2 juta (Utomo dkk 2001).
Menjadi remaja berarti menjalani
proses berat yang membutuhkan banyak penyesuaian dan menimbulkan kecemasan.
Lonjakan pertumbuhan badani dan pematangan organ-organ reproduksi adalah salah
satu masalah besar yang mereka hadapi. Perasaan seksual yang menguat tak bisa
tidak dialami oleh setiap remaja meskipun kadarnya berbeda satu dengan yang
lain. Begitu juga kemampuan untuk mengendalikannya.
Di Indonesia saat ini 62 juta remaja
sedang bertumbuh di Tanah Air. Artinya, satu dari lima orang Indonesia berada
dalam rentang usia remaja. Mereka adalah calon generasi penerus bangsa dan akan
menjadi orangtua bagi generasi berikutnya. Tentunya, dapat dibayangkan, betapa
besar pengaruh segala tindakan yang mereka lakukan saat ini kelak di kemudian
hari tatkala menjadi dewasa dan lebih jauh lagi bagi bangsa di masa depan.
Ketika mereka harus berjuang
mengenali sisi-sisi diri yang mengalami perubahan fisik-psikis-sosial akibat
pubertas, masyarakat justru berupaya keras menyembunyikan segala hal tentang
seks, meninggalkan remaja dengan berjuta tanda tanya yang lalu lalang di kepala
mereka.
Pandangan bahwa seks adalah tabu,
yang telah sekian lama tertanam, membuat remaja enggan berdiskusi tentang
kesehatan reproduksi dengan orang lain. Yang lebih memprihatinkan, mereka
justru merasa paling tak nyaman bila harus membahas seksualitas dengan anggota
keluarganya sendiri!
Tak tersedianya informasi yang
akurat dan “benar” tentang kesehatan reproduksi memaksa remaja bergerilya
mencari akses dan melakukan eksplorasi sendiri. Arus komunikasi dan informasi
mengalir deras menawarkan petualangan yang menantang. Majalah, buku, dan film
pornografi yang memaparkan kenikmatan hubungan seks tanpa mengajarkan tanggung
jawab yang harus disandang dan risiko yang harus dihadapi, menjadi acuan utama
mereka. Mereka juga melalap “pelajaran” seks dari internet, meski saat ini
aktivitas situs pornografi baru sekitar 2-3%, dan sudah muncul situs-situs
pelindung dari pornografi . Hasilnya, remaja yang beberapa generasi lalu masih
malu-malu kini sudah mulai melakukan hubungan seks di usia dini, 13-15 tahun!
Hasil penelitian di beberapa daerah
menunjukkan bahwa seks pra-nikah belum terlampau banyak dilakukan. Di Jatim,
Jateng, Jabar dan Lampung: 0,4 – 5% Di Surabaya: 2,3% Di Jawa Barat: perkotaan
1,3% dan pedesaan 1,4%. Di Bali: perkotaan 4,4.% dan pedesaan 0%. Tetapi
beberapa penelitian lain menemukan jumlah yang jauh lebih fantastis, 21-30%
remaja Indonesia di kota besar seperti Bandung, Jakarta, Yogyakarta telah
melakukan hubungan seks pra-nikah.
Berdasarkan hasil penelitian Annisa
Foundation pada tahun 2006 yang melibatkan siswa SMP dan SMA di Cianjur
terungkap 42,3 persen pelajar telah melakukan hubungan seks yang pertama saat
duduk di bangku sekolah. Beberapa dari siswa mengungkapkan, dia melakukan
hubungan seks tersebut berdasarkan suka dan tanpa paksaan.
Ketakutan akan hukuman dari
masyarakat dan terlebih lagi tidak diperbolehkannya remaja putri belum menikah
menerima layanan keluarga berencana memaksa mereka untuk melakukan aborsi, yang
sebagian besar dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa mempedulikan standar
medis. Data WHO menyebutkan bahwa 15-50 persen kematian ibu disebabkan karena
pengguguran kandungan yang tidak aman. Bahkan Departemen Kesehatan RI mencatat
bahwa setiap tahunnya terjadi 700 ribu kasus aborsi pada remaja atau 30 persen
dari total 2 juta kasus di mana sebgaian besar dilakukan oleh dukun.
- Tujuan
-
Untuk mengetahui dan memahami tentang aborsi yang terjadi pada remaja
-
Untuk mengetahui gambaran kasus aborsi pada remaja
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Aborsi
Aborsi adalah tindakan penghentian
kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan (sebelum usia 20 minggu
kehamilan), bukan semata untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dalam keadaan
darurat tapi juga bisa karena sang ibu tidak menghendaki kehamilan itu.
Di kalangan ahli kedokteran dikenal
dua macam abortus (keguguran kandungan) yakni abortus spontan dan abortus
buatan. Abortus spontan adalah merupakan mekanisme alamiah yang menyebabkan
terhentinya proses kehamilan sebelum berumur 28 minggu. Penyebabnya dapat oleh
karena penyakit yang diderita si ibu ataupun sebab-sebab lain yang pada umumnya
gerhubungan dengan kelainan pada sistem reproduksi.
Lain halnya dengan abortus buatan,
abortus dengan jenis ini merupakan suatu upaya yang disengaja untuk
menghentikan proses kehamilan sebelum berumur 28 minggu, dimana janin (hasil
konsepsi) yang dikeluarkan tidak bisa bertahan hidup di dunia luar.
Abortus buatan, jika ditinjau dari
aspek hukum dapat digolongkan ke dalam dua golongan yakni :
1.
Abortus buatan Legal
Yaitu pengguguran kandungan yang
dilakukan menurut syarat dan cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang.
Populer juga disebut dengan abortus provocatus therapcutius, karena
alasan yang sangat mendasar untuk melakukannya adalah untuk menyelamatkan
nyawa/menyembuhkan si ibu.
2.
Abortus Buatan Ilegal
Yaitu pengguguran kandungan yang
tujuannya selain dari pada untuk menyelamatkan/ menyembuhkan si ibu, dilakukan
oleh tenaga yang tidak kompeten serta tidak memenuhi syarat dan cara-cara yang
dibenarkan oleh undang-undang.
Abortus golongan ini sering juga
disebut dengan abortus provocatus criminalis, karena di dalamnya
mengandung unsur kriminal atau kejahatan.
B. Aspek Hukum ( KUHP dan UU
Kesehatan )
Di negara Indonesia, dimana dalam
Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) tindakan pengguguran kandungan yang disengaja
digolongkan ke dalam kejahatan terhadap nyawa (Bab XIX pasal 346 s/d 349).
Namun dalam undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang kesehatan pada pasal 15
dinyatakan bahwa dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa
ibu hamil atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.
Dalam KUHP Bab XIX Pasal 346 s/d 349
dinyatakan sebagai berikut:
Pasal 346 : “Seorang wanita yang
sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk
itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Pasal 347 :
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan
atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan
matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun.
Pasal 348 :
(1) Barang siapa dengan sengaja menggunakan atau
mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan
matinya wanita tersebut, diancam
dengan pidana penjara paling
lama tujuh tahun.
Pasal 349 : “Jika seorang dokter,
bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun
membantu melakukan salah satu kejahatan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana
yang ditentukan dalam pasal itu dapat dditambah dengan sepertiga dan dapat
dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan”.
Dari rumusan pasal-pasal tersebut
diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1.
Seorang wanita hamil yang sengaja melakukan abortus atau ia menyuruh orang
lain, diancam hukuman empat tahun penjara.
2.
Seseorang yang sengaja melakukan abortus terhadap ibu hamil, dengan tanpa
persetujuan ibu hamil tersebut, diancam hukuman penjara 12 tahun, dan jika ibu
hamil tersebut mati, diancam 15 tahun penjara.
3.
Jika dengan persetujuan ibu hamil, maka diancam hukuman 5,5 tahun penjara dan
bila ibu hamilnya mati diancam hukuman 7 tahun penjara.
4.
Jika yang melakukan dan atau membantu melakukan abortus tersebut seorang
dokter, bidan atau juru obat (tenaga kesehatan) ancaman hukumannya ditambah
sepertiganya dan hak untuk berpraktek dapat dicabut.
Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
Pada penjelasan UU No.23 Tahun 1992
Pasal 15 dinyataka sebagai berikut:
Ayat (1) : “Tindakan medis dalam
bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun, dilarang karena bertentangan
dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan dan norma kesopanan”.
Namun dalam keadaan darurat sebagai
upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu atau janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan
medis tertentu.
Ayat (2)
Butir a : Indikasi medis adalah
suatu kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil tindakan medis tertentu,
sebbab tanpa tindakan medis tertentu itu, ibu hamil dan janinnya terancam
bahaya maut.
Butir b : Tenaga kesehatan yang
dapat melakukan tindakan medis tertentu adalah tenaga yang memiliki keahlian
dan kewenangan untuk melakukannya, yaitu seorang dokter ahli kebidanan dan
penyakit kandungan.
Butir c : Hak utama untuk memberikan
persetujuan ada pada ibu hamil yang bersangkutan, kecuali dalam keadaan tidak
sadar atau tidak dapat memberikan persetujuannya, dapat diminta dari suami atau
keluarganya.
Butir d : Sarana kesehatan tertentu
adalah sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan peralatan yang memadai untuk
tindakan tersebut dan telah ditunjuk oleh pemerintah.
Ayat (3) : Dalam Peraturan
Pemerintah sebagai pelaksanaan dari pasal inidijabarkan antara lain mengenal
keadaan darurat dalam menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya, tenaga
kesehaan mempunyai keahlian dan kewenangan bentuk persetujuan, sarana kesehatan
yang ditunjuk.
C. Unsafe Abortion & KEMATIAN
MATERNAL
Di dunia setiap tahunnya
diperkirakan 600.000 perempuan meninggal dunia karena sebab-sebab yang
berhubungan dengan kehamilan dan persalinan. Sekitar 13% (78.000) dari kematian
ibu karena tindakan aborsi yang tidak aman (The Alan Guttmacher Institute
1999). Aborsi tidak aman merupakan urutan ketiga penyebab kematian ibu di dunia
(WHO 2000).
Tidak pernah tersedia data yang
pasti mengenai jumlah aborsi di Indonesia disebabkan tidak adanya ketetapan
hukum, sehingga tidak dapat dilakukan pencatatan data mengenai tindakan aborsi
terutama yang diselenggarakan secara tidak aman. Akibatnya, aborsi tidak aman
tidak pernah tercatat sebagai penyebab resmi kematian ibu, karena terselubung
dalam perdarahan dan infeksi, dua kategori penyebab yang menyebabkan lebih dari
separuh (55%) kematian ibu (Gunawan, 2000). Analisis lebih jauh data SKRT 1995
menyebutkan aborsi berkontribusi terhadap 11,1% dari kematian ibu di Indonesia,
atau satu dari sembilan kematian ibu. Angka sebenarnya mungkin jauh lebih besar
lagi, seperti dikemukakan oleh Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat
Departemen Kesehatan RI yang secara informal memperkirakan kontribusi aborsi
terhadap kematian ibu di Indonesia sebesar 50%.
Padahal pemerintah Indonesia
termasuk salah satu dari sejumlah negara yang menyatakan komitmen terhadap
Program Aksi Konferensi Kependudukan (ICPD) di Kairo tahun 1994 untuk
menurunkan risiko kematian ibu karena proses reproduksi (kehamilan, persalinan
dan pasca persalinan). Lima tahun setelah ICPD Kairo 1994, ternyata Indonesia
tidak memperlihatkan hasil yang bermakna atau tidak bisa bergeming dari posisi
sebagai negara dengan AKI tertinggi di Asia Tenggara. Perbandingan dengan
negara-negara tetangga seAsia Tenggara menunjukkan bahwa AKI 373 per 100,000
kelahiran hidup 37 kali lebih tinggi dari pada Singapura (AKI 10), hampir 5
kali Malaysia (AKI 80), dan masih lebih tinggi dari Vietnam (AKI 160), Thailand
(AKI 200), dan Filipina (AKI 280 per 100,000 kelahiran hidup). Apalagi kalau
digunakan data perkiraan AKI yang dipakai UNICEF untuk Indonesia, yaitu 650 per
100,000 kelahiran hidup (Population Action International, The Reproductive Risk
Index, 2001).
Tingginya AKI mengindikasikan masih
rendahnya tingkat kesejahteraan penduduk dan secara tidak langsung mencerminkan
kegagalan pemerintah dan masyarakat untuk mengurangi risiko kematian ibu.
Peningkatan kualitas perempuan merupakan salah satu syarat pembangunan sumber
daya manusia.
Strategi untuk menurunkan risiko
kematian karena aborsi tidak aman adalah dengan menurunkan „demand’ perempuan
terhadap aborsi tidak aman. Ini dapat dimungkinkan bila pemerintah mampu
menyediakan fasilitas keluarga berencana yang berkualitas dilengkapi dengan
konseling. Konseling keluarga berencana dimaksudkan untuk membimbing klien
melalui komunikasi dan pemberian informasi yang obyektif untuk membuat
keputusan tentang penggunaan salah satu metode kontrasepsi yang memadukan aspek
kesehatan dan keinginan klien, tanpa menghakimi. Bagi remaja yang belum
menikah, perlu dibekali dengan pendidikan seks sedini mungkin sejak mereka
mulai bertanya mengenai seks. Namun, perlu disadari bahwa risiko terjadinya
kehamilan selalu ada, sekalipun pasangan menggunakan kontrasepsi. Bila akses
terhadap pelayanan aborsi yang aman tetap tidak tersedia, maka akan selalu ada
„demand‟ perempuan terhadap aborsi tidak
aman.
D. UPAYA YANG DILAKUKAN (Upaya
Mengurangi Abortus Buatan Ilegal di Kalangan Tenaga Kesehatan)
Para dokter dan tenaga medis
lainnya, hendaklah selalu menjaga sumpah profesi dan kode etiknya dalam
melakukan pekerjaan. Jika hal ini secara konsekwen dilakukan pengurangan
kejadian abortus buatan ilegal akan secara signifikan dapat dikurangi.
Dalam deklarasi Oslo (1970) tentang
pengguguran kandungan atas indikasi medik, disebutkan bahwa moral dasar yang
dijiwai seorang dokter adalah butir Lafal Sumpah Dokter yang berbunyi:
”Saya akan menghormati hidup insani
sejak saat pembuahan: oleh karena itu Abortus buatan dengan indikasi medik,
hanya dapat dilakukan dengan syarat-syarat berikut”:
- Pengguguran hanya dilakukan
sebagai suatu tindakan terapeutik.
- Suatu keputusan untuk
menghentikan kehamilan, sedapat mungkin disetujui secara tertulis oleh dua
orang dokter yang dipilih berkat kompetensi profesional mereka.
- Prosedur itu hendaklah
dilakukan seorang dokter yang kompeten di instalasi yang diakui oleh suatu
otoritas yang sah.
- Jika dokter itu merasa bahwa
hati nuraninya tidak memberanikan ia melakukan pengguguran tersebut, maka
ia hendak mengundurkan diri dan menyerahkan pelaksanaan tindakan medik itu
kepada sejawatnya yang lain yang kompeten.
- Selain memahami dan menghayati
sumpah profesi dan kode etik, para tenaga kesehatan perlu pula
meningkatkan pemahaman agama yang dianutnya. Melalui pemahaman agama yang
benar, diharapkan para tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya
selalu mendasarkan tindakannya kepada tuntunan agama.
BAB III
PEMBAHASAN
- Kesimpulan
Proses pembuktian atas kasus
Abortus Buatan Ilegal sangat sulit dan rumit, mengingat para pihak dalam
melakukan perbuatan tersebut selalu didahului pemukatan (jahat) untuk saling
merahasiakan.
- Bagaimanapun juga tindakan
abortus adalah merupakan tindakan yang tidak dapat ditolerir baik dari
segi hukum maupun agama.
- Bagi tenaga kesehatan,
khususnya Dokter, Bidan dan Juru Obat, ancaman pidana melakukan perbuatan
Abortus Buatan Ilegal dapat ditambah sepertiga dari ancaman hukumannya.
2. Saran – saran
1.
Diharapkan kepada orangtua agar lebih memperhatikan kondisi/ keadaaan anak
khususnya perempuan, seperti membatasi pergaulan, dan memberikan informasi
lebih awal tentang aborsi, serta ilmu agama yang lebih mendalam dengan harapan
agar si anak tidak terjebak dalam kondisi yang kemungkinan dapat terjadi seperti
itu.
2.
Untuk itu baik pemerintah, masyarakat, sekolah dan orangtua agar dapat
memberikan masukan (suplemen) khusus kepada remaja wanita, agar pola pikir
tentang arah-arah negatif dapat dihindari sejak dini
3.
Hendaknya para tenaga kesehatan agar selalu menjaga sumpah profesi dan kode
etiknya dalam melakukan pekerjaan, sehingga pengurangan kejadian Abortus Buatan
Ilegal dapat dikurangi.
DAFTAR PUSTAKA
- GOI & UNICEF. Laporan
Nasional Tindak Lanjut Konferensi Tingkat Tinggi Anak (Draft). Desember
2000.
- Mochtar, Rustam, 1987, Sinopsis
Obstetri, Edisi 2, Valentino Group, Medan
- WHO-SEARO. Regional Health
Report 1998: Focus on Women. New Delhi: WHO-SEARO, 1998
- WHO. Safe Abortion: Technical
and Policy Guidance for Health System. A Draft 4 September 2002.
- Zumrotin K. Susilo and Herna
Lestari. Disampaikan pada acara Temu Ilmiah Fertilitas Endokrinologi
Reproduksi, Hotel Savoy Homann Bidakara Bandung, 6 Oktober 2002. Artikel.
- Syafruddin. Abortus Provocatus
dan Hukum. USU-Library. 2003.